Menurut perencana keuangan Mike Rini Sutikno, CFP, biaya sekolah anak
selalu menjadi masalah keuangan rumah tangga. “Pendidikan sama
pentingnya dengan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan rumah.
Dan setiap orangtua harus bisa mengantisipasi, karena pertama,
pendidikan itu, meski bukan kebutuhan hidup pokok, tapi sangat krusial
dalam rangka membangun kemandirian seseorang anak. Dengan pendidikan,
anak nantinya bisa memiliki basic
kompetensi untuk bisa menjadi individu yang mandiri, termasuk mandiri secara finansial,” jelas Mike.
Oleh karena itu, orangtua harus bisa menyelanggarakan dana
pendidikan. Masalahnya, biaya ini tidak murah, selalu naik dari tahun ke
tahun. Dalam mempersiapkan dana pendidikan, orangtua dituntut untuk
bisa mengalokasikan penghasilan mereka, sementara kemampuan ini tidak
merata. Semakin berat dana pendidikan yang harus disiapkan, semakin
besar pula dana yang harus dialokasikan.
Orangtua rata¬-rata punya penghasilan, tapi belum tentu bisa
mengalokasikan untuk tabungan dana pendidikan anaknya. Faktornya banyak,
mulai dari beban biaya hidup, kesalahan pengelolaan keuangan keluarga,
menganut gaya hidup yang kurang tepat, sampai inflasi.
Untuk itu harus ada sebuah perencanaan dana pendidikan, sehingga
orangtua mampu membayar biaya pendidikan anak sesuai jenjang
pendidikannya. Konsep dana pendidikan adalah orangtua menabung sepanjang
jangka waktu dana pendidikan anak. Umumnya, jenjang pendidikan anak
adalah dari usia 4 (playgrup) sampai usia 18 tahun, jadi sekitar 14
tahun. “Nah, orangtua harus menabung dalam jangka panjang, dan kemudian
akan diambil sesuai jenjang pendidikannya, misalnya SD, SMP, dan
seterusnya.”
Tampaknya sederhana, tetapi praktiknya banyak tantangan. Kenapa?
“Jangka waktu 14 tahun itu jangka waktu yang lama. Inflasi yang terjadi
selama 14 tahun itu bisa membuat dana pendidikan membengkak berkali
lipat. Ini memberatkan pengalokasian penghasilan orangtua. Juga,
rata-rata kenaikan biaya pendidikan tidak sama di berbagai daerah dan
sekolah. Nah, tergantung orangtua mau menyekolahkan anak dimana.
Orangtua juga harus mempertimbangkan bakat dan minat anak.”
Yang juga harus dipertimbangkan adalah kalau dana pndidikan tersebut
berhenti di tengah jalan, karena orangtua tak lagi mampu menabung.
Misalnya karena sakit, meninggal, kena PHK, dan sebagainya. Ini harus
diantisipasi juga.
Kriteria dana pendidikan yang berhasil adalah pada saat akan
digunakan, jumlah dana pendidikan itu cukup, sesuai dengan kenaikan
inflasi. “Tinggal tergantung dimana orang tua akan menabung atau
menginvestasikan dana pendidikan. Masalahnya, tidak semua orangtua paham
bagaimana bisa menabung dengan efektif, karena itu berarti harus punya
pengetahuan tentng produk-produk investasi. Bicara mengenai instrumen
finanial, berarti kita harus memahami ada risiko dan return
(tingkat keuntungan).”
Target Dana
Jadi, bagaimana cara yang efektif? Pertama, orangtua harus mengitung
jenjang pendidikan yang akan dilewati anak. Orangtua harus memahami
tahapannya. Misalnya berapa usia anak sekarang, kapan masuk SD, SMP,
SMA, dan seterusnya. Contoh, pada tahun 2009 anak berusia 3 tahun,
berarti ia akan masuk SD tahun 2011, SMP tahun 2017, dan seterusnya.
Langkah pertama, orangtua harus memperhitungkan kapan membayar dana
pendidikan. Bukan sekarang, tapi 3 tahun lagi, 9 tahun lagi, dan
seterusnya. Setelah mengetahui kapan membayar, berarti orangtua akan
tahu berapa lama waktu yang ia punya untuk mempersiapkan dana
pendidikan.
Setelah tahu waktunya, kemudian dilihat berapa biayanya sekarang dan
nanti. “Ini berarti orangtua harus tahu kemana anak akan disekolahkan,
karena biaya pendidikan di berbagai sekolah nggak sama. Orang tua harus
tahu ke sekolah mana anak akan disekolahkan.” Misalnya, SD A, SMP B, SMA
C, dan seterusnya. Kalau sudah memutuskan pilihan sekolah, orangtua
bisa minta informasi sekolah yang bersangkutan. Tanyakan berapa uang
pangkal tahun 2009, begitu juga SMP dan SMA, kalau perlu sampai
perguruan tinggi.
Selanjutnya, orangtua harus memperkirakan uang pangkal masing-masing
jenjang tersebut kelak ketika si kecil akan masuk. Misalnya dengan
perkiraan asumsi kenaikan 10 persen per tahun, berarti pada tahun 2011
ketika si anak mau masuk SD A, uang pangkal dari yang misalnya Rp 5
juta, naik jadi Rp 8 juta. “Ngitungnya
gampang, kok, pakai rumus feature value
, yaitu menghitung berapa nilai masa depan suatu jumlah tertentu saat
ini, dengan asumsi kenaikan tiap tahun. Paling gampang tanya ke penjual
produk tabungan dana pendidikan seperti bank atau agen asuransi,” kata
Mike.
Ketemulah target dana untuk masuk SD tahun 2011, misalnya Rp 8 juta.
Berarti dalam 3 tahun, orangtua harus bisa mengumpulkan dana Rp 8 juta.
Berapa rupiah setiap bulan yang harus disisihkan dari penghasilan agar
tahun 2011 bisa terkumpul uang untuk sekolah anak. Itu baru SD-nya saja.
Hal sama berlaku untuk SMP dan SMA.
Setelah tahu berapa target dan setoran setiap bulan, masih ada lagi
yang harus dipertimbangkan, yaitu seandainya terjadi sesuatu di tengah
jalan, misalnya orangtua kena PHK atau sakit sehingga tak bisa lagi
memperoleh penghasilan tetap.
“Kalau begitu perlu diasuransikan. Sebetulnya, menabung sendiri dan
beli asuransi sendiri juga bisa. Jumlah yang diasuransikan adalah jumlah
dana pendidikan yang perlu dicover,
tak perlu berlebihan.” Sekarang, pilihan untuk mengantisipasi risiko
tidak terbayarnya DP karena hal-hal tak terduga yang terjadi pada
orangtua jauh lebih praktis dan mudah diakses. “Biasanya ada produk dana
pendidikan yang sudah sekaligus satu paket dengan asuransi. Yang
ditawarkan, jika terjadi risiko pada orangtua, maka orangtua terbebas
dari kewajiban membayar setoran. Setoran diterusin pihak asuransi.”
Yang perlu dilakukan adalah berapa jumlah yang harus diasuransikan.
“Pakai saja perhitungan yang di awal tadi. Misalnya SD Rp 8 juta, SMP
sekian, dan seterusnya. Jumlah tadi bisa ditaruh sekaligus dan diambil
ketika anak mulai masuk ke tiap jenjang pendidikan. Kalau tadinya
mencicil, maka sekarang sekaligus untuk mengantisipasi risiko tadi.”
Harus Kreatif
Orangtua harus bersikap lebih kreatif supaya persipan dana pendidikan
yang ia jalankan tepat guna. “Dana pendidikan itu kan, sifatnya jangka
panjang dan ada tahapannya. Masalahnya, kalau orangtua mengambil produk
keuangan standar, seperti tabungan, keuntungannya kecil sekali,
sementara kenaikan biaya dana pendidikan jauh lebih besar dibanding suku
bunga yang bisa diberikan oleh bank. Artinya, kalau orantua ngotot
tetap memakai cara itu, setoran tabungan jadi sangat berat karena harus
mengejar target dana investasinya."
Oleh karenanya, Mike menganjurkan, jika ada alternatif lain yang bisa
memberikan return hasil lebih tinggi untuk investasi dalam jangka
panjang, orangtua sebaiknya mempelajari. Orangtua harus meningkatkan
selera menerima risiko kerugian. Ada orang yang senangnya cuma menaruh
uang di bank, itu artinya dia konservatif sekali, tidak mau ambil risiko
apapun. Sebab, produk di luar tabungan selalu ada risiko, seperti
lembaga keuangan tutup atau kondisi ekonomi yang tidak stabil yang
menyebabkan kinerja instrumen keuangan yang kita pilih turun (risiko
sistemik).
Dan karena dana pendidikan ini memiliki tahapan, maka jangka waktu
investasinya bervariasi. Ada yang jangka pendek (1-2 tahun), menengah (3
– 5 tahun) dan jangka panjang. Tabungan dan produk keuangan konservatif
cocok untuk yang jangka pendek, sementara jangka menengah dan panjang
lebih baik pilih produk yang memberikan return
lebih baik, seperti obligasi retail, reksadana pendapatan tetap, atau
emas. Di atas 5 tahun bisa memaai reksadana saham. “Properti juga bisa,
tapi modalnya besar. Masing-masing memang ada plus minunya.”
0 komentar:
Posting Komentar